Under the Sky That Bears the Shahada (Di Bawah Langit yang Bersyahadat)  |  ORBITINDONESIA.COM

ENGLISH POEM

Under the Sky That Bears the Shahada


By Leni Marlina

[Poetry Community of Indonesian Society Inspiration; Poetry-Pen International Community; Indonesian Writers Satu Pena West Sumatra, Indonesian Creator of AI Era; Literature & Linguistic Talk Community; ACC Shanghai Huingfei International Literary Association, Translation Practice Community; English Language Learning, Literature and Literacy Community, English Department Universitas Negeri Padang] 


image

"Illustration of the poem 'Under the Sky That Bears the Shahada' by Leni Marlina. Image source: Starcom Indonesia's Artworks (Assisted by AI)."


"And We have made the sky a canopy, and We have made it wide." — QS. Adh-Dhariyat: 47



<<1>>

The dawn does not emerge from the womb of night,
it rises from the words whispered in silence.
Light is not merely brightness,
it is the first breath of the universe,
vibrating the horizon that kneels
beneath His name.


The sky unfolds itself like a sacred text,
each crack a verse
revealing the wounds of humanity.
The clouds hang not as a veil,
but as ink writing fate,
floating in the gray color of divine will.


<<2>>

Mountains chant in silence,
casting their shadows upon the valleys of prostration.
They stand as ancient witnesses,
guarding vows once spoken
by prophets and the lost people.
The valleys are not simply empty,
they are pages where prayers
echo without sound.

Lightning slinks behind the clouds,
like fear before the power of God.
Its flash is not a threat,
but a warning:
"And He it is Who sends forth lightning, for fear and hope."

The rain falls gently,
bearing blessings wrapped in secrets.
Its droplets wash the thirsty earth,
yet leave traces
like sins that refuse to dissolve.



<<3>>

And the sea?
It recites His names with its waves,
each crash a praise.
Yet beneath the abyss,
human promises are buried,
like ships that have forgotten the direction of the Qiblah.
The sea is not mere water,
it is a mirror of fate,
casting away all that is transient.

Under the sky that bears the Shahada,
a servant stands in emptiness.
His eyes are a cup of prayer,
his hands clasp the grains of remembrance,
his feet are rooted in the dust of the earth
which will one day bear witness.


<<4>>

The horizon is not a line,
it is an illusion:
the place where the world ends
and eternity begins.
And here this poem is born,
not as beauty,
but as a broken string of beads—
a chant that endlessly repeats,
proclaiming His grandeur
amidst the wounds of the universe.


Padang, West Sumatra, Indonesia, 2023


Note:


https://englishliterature.fbs.unp.ac.id/lecturers/lm-2266/


This poem was initially written by Leni Marlina as a hobby and a personal collection of poems in 2023. It was later revised and first published through digital media in 2024. Thanks to ORBITINDONESIA.COM editor who has published its Indonesian version with entitled 'Di Bawah Langit yang Bersyahadat".

Leni Marlina is an active member of the Indonesian Writers Association (SATUPENA) in the West Sumatra branch. She is also an active member of the International Poetry & Literature Community (ACC) in Shanghai and has been trusted as the Indonesian Poetry Ambassador for the ACC Shanghai Huifeng International Literary Association. In addition, Leni is involved with the Victoria’s Writers Association in Australia. Since 2006, she has been dedicated as a lecturer at the English Department, Faculty of Language and Arts, Universitas Negeri Padang.

Leni has also founded and led several digital communities focused on literature, education, and social issues, including: (1) World Children’s Literature Community (WCLC); (2) International POETRY-PEN Community; (3) PPIPM Community (Poetry Inspiration Pond for Society); (4) Starcom Indonesia Community (Starmoonsun Edupreneur Community).


----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


INDONESIAN POEM


Di Bawah Langit yang Bersyahadat

image
Ilustrasi  Puisi "Leni Marlina" Di Bawah Langit yang Bersyahadat. Sumber Gambar; Starcom Indonesia's Artworks (Assisted by AI)

Oleh: Leni Marlina

"Dan langit itu Kami tinggikan dengan kekuasaan Kami, dan Kami pula yang meluaskannya." — QS. Adh-Dhariyat: 47

<1>


Fajar tak lahir dari rahim malam,
ia terbit dari firman yang dilantunkan dalam sunyi.
Cahaya bukan sekadar terang,
ia adalah napas pertama semesta,
menggetarkan cakrawala yang berlutut
di bawah nama-Nya.

Langit membuka dirinya seperti mushaf,
setiap retaknya adalah ayat
yang mengabarkan luka manusia.
Awan bergelayut bukan sebagai tirai,
tapi tinta yang menuliskan takdir,
mengambang dalam warna kelabu kehendak.


<2>


Gunung-gunung bertakbir dalam diam,
melontarkan bayangannya ke lembah-lembah sujud.
Mereka berdiri sebagai saksi purba,
menyimpan sumpah yang pernah terucap
oleh para nabi dan umat yang tersesat.
Lembah tidak sekadar kosong,
ia adalah halaman di mana doa-doa
menggema tanpa suara.

Petir menyelinap di balik awan,
seperti ketakutan pada kekuasaan Tuhan.
Kilauannya bukan ancaman,
melainkan peringatan:
"Dan Dialah yang mengirimkan kilat sebagai ketakutan dan harapan."

Hujan turun perlahan,
membawa rahmat yang terbungkus rahasia.
Tetesannya membasuh tanah yang haus,
tapi juga meninggalkan jejak
seperti dosa-dosa yang menolak larut.


<3>


Dan laut?
Ia berzikir dengan gelombang,
setiap hempasannya mengucapkan asma-Nya.
Namun di dasar palung,
janji-janji manusia terbenam,
seperti kapal-kapal yang lupa arah kiblat.
Laut bukan sekadar air,
ia adalah cermin takdir,
menghempaskan segala yang fana.

Di bawah langit yang bersyahadat,
seorang hamba berdiri dalam kekosongan.
Matanya adalah cawan doa,
tangannya menggenggam butir-butir dzikir,
kakinya tertanam dalam debu bumi
yang kelak menjadi saksi.


<4>


Horizon bukan garis,
ia adalah ilusi:
tempat di mana dunia berakhir
dan keabadian dimulai.
Dan di sinilah puisi ini lahir,
bukan sebagai keindahan,
tapi sebagai tasbih yang patah—
lantunan yang terus terulang,
mengabarkan keagungan-Nya
di tengah luka semesta.


Padang, Sumbar, 2023 

--------------

Catatan:
Puisi ini awalnya ditulis oleh Leni Marlina hanya sebagai hobi dan koleksi puisi pribadi tahun 2023 puisi tersebut direvisi kembali serta dipublikasikan pertama kalinya melalui media digital tahun 2024.

Leni Marlina merupakan anggota aktif Asosiasi Penulis Indonesia, SATUPENA cabang Sumatera Barat. Ia juga merupakan anggota aktif Komunitas Penyair & Penulis Sastra Internasional ACC di Shanghai, serta dipercaya sebagai Duta Puisi Indonesia untuk ACC Shanghai Huifeng International Literary Association. Selain itu, Leni terlibat dalam Victoria's Writer Association di Australia. Sejak tahun 2006, ia telah mengabdikan diri sebagai dosen di Program Studi Bahasa dan Sastra Inggris, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Padang.

Leni juga mendirikan dan memimpin sejumlah komunitas digital yang berfokus pada sastra, pendidikan, dan sosial, di antaranya:, (1) Komunitas Sastra Anak Dunia (WCLC); (2) Komunitas Internasional POETRY-PEN; (3) Komunitas PPIPM (Pondok Puisi Inspirasi Masyarakat); (4) Komunitas Starcom Indonesia (Starmoonsun Edupreneur Community Indonesia).


Komentar

  1. "Laut bukan sekadar air, ia adalah cermin takdir,"

    pengingat bahwa setiap gelombang yang menghempas pantai membawa pesan, seperti kehidupan yang selalu mengajarkan makna pada jiwa yang merenung.

    BalasHapus
  2. Balasan
    1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
  3. "Petir bersembunyi di balik awan, seperti rasa takut di hadapan kuasa Tuhan."

    menurut saya baik ini paling menarik, karena sebagai pengingat bahwa kilatan cahaya di langit bukan sekadar fenomena alam, melainkan seruan untuk merenungi kebesaran-Nya, seperti hati manusia yang gemetar saat berhadapan dengan kebesaran Ilahi.

    BalasHapus
  4. Tetesannya membasuh tanah yang haus,
    tapi juga meninggalkan jejak
    seperti dosa-dosa yang menolak larut.

    Seakan melambangkan tetesan sebagai simbol yang membasuh penderitaan dan perjuangan yang meninggalkan bekas yang tak terlupakan dan konsekuensi yang tak dapat dihapuskan, seperti dosa.

    BalasHapus
  5. "Dan laut?
    Ia berzikir dengan gelombang,
    setiap hempasannya mengucapkan asma-Nya"

    kalimat ini menggambarkan bahwa laut sebagai makhluk yang tidak hanya menjadi bagian alam, tetapi juga sebagai entitas yang memiliki hubungan spiritual dengan Sang Pencipta. Gelombang laut, dengan gerakannya yang tiada henti, bisa kita nilai sebagai zikir dan pengakuan terhadap kebesaran Allah.

    BalasHapus
  6. Nama : Muhammad Yusri Affandi
    NIM : 20019010

    Izin memberikan komentar terhadap puisi diatas, Ibu.

    Puisi diatas merefleksikan hubungan manusia dengan alam yang diciptakan oleh Tuhan, kita diajarkan untuk melihat alam sebagai bahasa Tuhan yang penuh makna, dan menyadarkan kita bahwa hidup kita adalah bagian dari takdir-Nya yang lebih besar. Setiap bagian dari alam merupakan bagian dari pujian kepada Tuhan yang harus kita hargai, pahami, dan rasakan dalam setiap napas dikehidupan kita.

    BalasHapus
  7. "Hujan turun perlahan, membawa rahmat yang terbungkus rahasia"

    Menurut saya, kalimat ini mengandung makna bahwa hujan bukan hanya sekedar fenomena alam biasa, tetapi di balik datangnya hujan, ada kebaikan atau keberkahan yang datang secara perlahan, yang memiliki manfaat dibaliknya.

    BalasHapus
  8. "Lembah tidak sekadar kosong, ia adalah halaman di mana doa-doa menggema tanpa suara."

    Menurut saya, kutipan ini menjadi pengingat bagi kita untuk selalu berdoa kepada-Nya. Meskipun kita berada dalam kondisi sedih dan merasa sendirian, kita tetap dapat menemukan kedamaian dengan berkomunikasi melalui doa kepada Sang Pencipta. Walaupun doa-doa yang kita panjatkan tidak dapat terlihat secara langsung, tetapi setelah memanjatkan doa-doa tersebut kita dapat merasakan ketenangan.

    BalasHapus
  9. "Langit terbuka seperti buku,
    setiap retakan di dalamnya adalah ayat yang menceritakan tentang luka dan kesedihan kita."

    Menurut saya, kutipan ini menggambarkan langit sebagai simbol yang menyimpan cerita tentang setiap pengalaman hidup manusia, sedangkan retakan menggambarkan kesedihan dan luka. Kutipan ini bermakna, dalam setiap kesedihan dan yang kita rasakan pasti ada pelajaran yang dapat kita ambil.

    BalasHapus

  10. “Gunung-gunung bertakbir dalam diam,"
    Pada bait ini menggambarkan gunung-gunung pun ikut mengumandangkan takbir, menyatakan kebesaran kepada Allah SWT. Namun, takbir tersebut dilakukan "dalam diam", yang menunjukkan bahwa meskipun alam tidak berbicara dengan kata-kata, ia tetap memiliki cara untuk menyampaikan kekaguman dan pengagungan terhadap Allah SWT.

    BalasHapus
  11. Aisyah Mardhiyah S
    22018085
    The line : human promises are buried
    "The weight of broken dreams and unkept vows is heavy, for human promises are buried deep beneath the sands of time."
    Saya memilih baris "human promises are buried" karena memiliki makna yang sangat mendalam dan bisa diinterpretasikan dengan berbagai cara. Baris ini mengandung kesan bahwa janji-janji manusia, baik yang telah terucap maupun yang belum terlaksana, terkubur oleh waktu dan tidak selalu bisa dipenuhi atau diingat. Ini juga mencerminkan ketidakkekalan dan kelemahan manusia dalam menjaga komitmen atau kesetiaan. Dalam konteks puisi ini, baris tersebut memperkuat tema tentang transisi antara dunia yang fana dan janji-janji spiritual yang lebih tinggi.

    BalasHapus
  12. Setelah membaca puisi ini ada bait yang menurut saya sangat dalam maknanya yaitu pada bait "Langit membuka dirinya seperti mushaf,
    setiap retaknya adalah ayat" bait ini seperti menggambarkan langit sebagai sebuah kitab suci, dengan setiap retaknya menjadi ayat yang mencerminkan penderitaan dan luka manusia. Langit, yang luas dan tak terbatas, seolah menyimpan cerita dan kesedihan umat manusia. Retakan-retakan itu menjadi simbol dari kesulitan dan cobaan yang dialami oleh manusia, dan dengan cara ini, alam semesta seakan mengungkapkan kisah kesedihan dan perjuangan kita dalam bentuk yang lebih besar dan mendalam.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Article Journal about Young Adult Literature: Dystopian World and Young Adults in M. T. Anderson’s Feed Science Fiction

The Unwearied Sun: A Collection of Poems by Leni Marlina (PPIPM-Indonesia, Satu Pena West Sumatera, Poetry-Pen IC, ACC ASHILA) I forumsumbar.com